First Consulting adalah Konsultan Pajak Jakarta dan bea cukai resmi yang terdaftar di Kementerian Keuangan RI yang untuk saat ini berada di Jakarta Barat dan Pontianak. Spesialisasi kami adalah di bidang sengketa pajak dan bea cukai (dispute), yaitu di Pemeriksaan, Keberatan, Banding dan Peninjauan Kembali.
Dengan pengalaman kami di bidang sengketa pajak dan bea cukai, kami lebih memahami pajak dan bea cukai secara lebih menyeluruh sehingga dapat memberikan jasa compliance, advisory dan dispute yang tepat bagi klien. Jasa konsultasi (advisory) yang diberikan juga mencakup jasa set up company system atau sering kali disebut dengan ERP (Enterprise Resource Planning).
Dengan adanya ERP yang tepat, klien akan lebih taat dengan peraturan yang berlaku (compliance) sehingga terhindar dari sanksi administrasi perpajakan yang tinggi (Highly Cost) dan memaksimalkan keuntungan klien (Maximize Profit).
Pengalaman First Consulting yang luas dalam menyediakan berbagai jenis jasa perpajakan akan memastikan prosedur akuntansi perusahaan Anda memenuhi persyaratan pelaporan keuangan dan sesuai dengan peraturan pajak.
Memberikan pemahaman yang komprehensif tentang bisnis dan industri, kerumitan terkait pajak serta prosedur akuntansi sesuai dengan peraturan pajak untuk membuat ERP yang paling cocok untuk bisnis dan industri Anda.
Bisnis.com, JAKARTA - DPR RI resmi menyetujui Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP), Kamis (7/10/2021). Simak poin-poin lengkap RUU HPP, mulai dari pajak pertambahan nilai (PPN) naik jadi 11 persen hingga program pengungkapan sukarela wajib pajak atau Tax Amnesty jilid II.
Kamis (7/10/2021), DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) menjadi undang-undang. Dengan pengesahan itu, seluruh substansi siap diimplementasikan setelah ditandatangani Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).
Dilansir dari keterangan resmi Kemenkeu RI, RUU HPP bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak yang masi rendah, menutup celah praktik-praktik erosi perpajakan, instrumen untuk mewujudkan keadilan, serta memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan, serta memperbaiki sistem perpajakan Indonesia.
Namun, ketidakadilan terpampang dalam undang-undang tersebut. Di satu sisi, pelonggaran dan penghapusan substansi menguntungkan pengusaha tetapi di sisi lain daya beli masyarakat kecil tergerogoti sejalan dengan naiknya tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). RUU HPP memuat 9 bab dan 19 pasal, di antaranya berisi aturan tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Program Pengungkapan Sukarela (PPS), pajak karbon, serta cukai.
Berikut poin-poin atau substansi yang terakomodasi dalam RUU HPP yang disahkan DPR RI, Kamis (7/10/2021).
1. Pajak Penghasilan (PPh) - Adanya perbaikan pengaturan lapisan tarif PPh Orang Pribadi pada lapisan terendah yang saat ini sebesar Rp60 juta. - Penambahan lapisan tarif PPh Orang Pribadi sebesar 35 persen untuk penghasilan di atas Rp5 miliar per tahun. - Penambahan threshold peredaran bruto tidak kena pajak untuk UMKM. - Pengaturan ulang tarif PPh Badan sebesar 22 persen.
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPn) - Memberikan fasilitas pembebasan PPN atas barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa keuangan, dan jasa pelayanan sosial. - PPN Final untuk sektor tertentu agar lebih memberikan kemudahan bagi UMKM. - Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen disepakati untuk dilakukan secara bertahap, yaitu menjadi 11 persen mulai 1 April 2022 dan menjadi 12% paling lambat 1 Januari 2025, dengan mempertimbangkan kondisi masyarakat dan dunia usaha yang masih belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi Covid-19.
3. Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak (PPSWP) - Memfasilitasi wajib pajak yang memiliki niat baik untuk patuh dan terintegrasi dalam sistem perpajakan.
4. Pajak Karbon - Menetapkan peta jalan pajak karbon dan pasar karbon, serta menetapkan subjek, objek, dan tarif termasuk insentif.
5. Cukai - Menegasan ranah pelanggaran administratif dan prinsip ultimum remedium pada tindak pidana cukai untuk kepentingan penerimaan negara dan kepastian hukum.
Substansi yang dihapus/dibatalkan/dilonggarkan dalam RUU HPP:
- Ketentuan mengenai Alternative Minimum Tax (AMT) atau PPh minimum bagi perusa-haan yang merugi selama 5 tahun fiskal sebesar 1 persen.
- Membatalkan ketentuan antipenghindaran pajak General Anti Avoidance Rule (GAAR).
- Menghapus Pasal 39B yang menga-tur tentang tindak pidana perpajakan oleh Wajib Pajak Badan atau korporasi.
- Merelaksasi tarif dalam PPSWP sehingga jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang diusulkan oleh pemerintah.
[RUU Cipta Kerja Disahkan! Kluster Pajak Masuk Didalamnya, Berikut Perubahan Pasal di UU Pajak]
Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Kerja resmi disahkan. Dengan disahkannya RUU tersebut, maka terdapat beberapa perubahan terkait dengan Undang-Undang pajak. Lalu apa saja perubahan tersebut? Simak Infografis berikut ini!
Bisnis.com, JAKARTA - Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak mengingatkan batas waktu penggunaan PPh final UMKM bagi wajib pajak (WP) yang memanfaatkan fasilitas fiskal tersebut.
Dalam Pengumuman No.10/PJ.09/2020, Ditjen Pajak menyebutkan sesuai Pasal PP No.23/20218 pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) final berlaku 3 tahun pajak bagi WP Badan berbentuk Perseroan Terbatas (PT) dan 4 tahun bagi WP Badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer (CV), atau firma.
Dengan merujuk pada ketentuan tersebut maka fasilitas fiskal berupa PPh final 0,5 persen bagi WP badan PT akan berlaku hingga akhir tahun pajak 2020. Sementara bagi WP Badan berbentuk koperasi, CV, atau firma, berlaku hingga akhir tahun pajak 2021.
Adapun setelah berakhirnya jangka waktu pelaksanaan fasilitas fiskal tersebut, WP yang dimaksud memenuhi kewajiban perpajakan sesuai ketentuan umum Undang-Undang PPh untuk tahun pajak berikutnya.
Dalam catatan Bisnis, secara umum ketentuan tersebut mengatur pengenaan Pajak Penghasilan Final (PPh Final) bagi wajib pajak yang peredaran bruto (omzet) sampai dengan Rp4,8 miliar dalam satu tahun, yang merupakan perubahan atas ketentuan pengenaan PPh Final sebelumnya (PP 46 Tahun 2013).
Pokok perubahan pengaturannya mencakup penurunan tarif PPh Final dari 1 persen menjadi 0,5 persen dari omzet, yang wajib dibayarkan setiap bulannya.
Selain itu, beleid ini juga mengatur jangka waktu pengenaan tarif PPh Final 0,5 persen untuk WP Orang Pribadi yaitu selama 7 tahun; WP Badan berbentuk Koperasi, Persekutuan Komanditer atau Firma selama 4 tahun; sedangkan untuk WP Badan berbentuk Perseroaan Terbatas selama 3 tahun.